Jumat, 29 April 2011

Niat

Pernah dengar cerita Ali Baba?, ada sebuah goa yang berisi banyak harta karun, yang hanya bisa dibuka dengan "password" tertentu?....

Sekarang bayangkan hal ini terjadi pada diri kita. Kita tahu "password"nya apa....tapi kita nggak pernah bisa menikmati harta karun tersebut...karena apa? karena kita lupa mengucapkan passwordnya atau lebih parah lagi kita terlalu malas untuk mengucapkan password itu.....

Itulah yang bisa terjadi pada kita. Kita mungkin telah melewatkan kesempatan mendapat "pahala dan rahmat" dari Allah SWT, hanya karena kita menganggap yang kita lakukan adalah suatu kebiasaan tanpa meniatkannya untuk Allah.

Masalah niat ini menjadi sedemikian penting hingga banyak ulama menempatkannya dalam pembahasan pertama dalam kitab mereka. Salah satunya bisa dilihat dalam hadis arba'in An-Nawawiy. Berikut hadisnya





Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju.” (HR. Bukhari)

Imam Ahmad berkata tentang pentingnya hadis ini, “Poros agama Islam terletak pada 3 hadits, yaitu
  • hadits Umar tentang niat
  • hadits ‘Aisyah tentang tertolaknya mengada-adakan hal yang baru
  • dan hadits An Nu’man bin Basyir tentang halal dan haram
Ini Imam Ahmad yang bilang ya, seorang Imam yang telah mengumpulkan ribuan hadis, dan pemahamannya tentang hadis nggak diragukan lagi. Artinya, hadis tentang niat ini penting banget untuk dipahami.

Berikut bahasan yang ane ringkas dari beberapa sumber (nggak berani pake bahasa sendiri, takut salah :)...sayang udah lupa ngambil dari link yang mana....

Tafsiran Ulama Mengenai “Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada Niatnya”

  • Pendapat pertama, mengatakan "keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat yang melandasinya", maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya.
  • Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala amalan yang dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah niat.
Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu amalan dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] merupakan penjelas terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari’at bukan sebagai penjelas terhadap seluruh perkara yang terjadi.

Kesimpulannya, pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan. Konsekuensinya;
  • Niat harus jelas dan bisa membedakan, misalnya jika seseorang masuk ke dalam mesjid setelah adzan Zhuhur lalu sholat 2 raka’at, maka tidak cukup baginya hanya berniat untuk sholat dua raka’at akan tetapi harus dia menentukan niatnya, yaitu apakah dua raka’at ini adalah sholat tahiyatul masjid atau sholat sunnah rawathib atau sekedar sholat sunnah mutlak. Hal ini dikatakan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/81)
  • amalan yang bukan ibadah bisa mendapatkan pahala bila orang yang mengamalkannya meniatkan dengannya ibadah. Misalnya memberikan nafkah kepada keluarga –yang asalnya adalah bukan amalan ibadah- dengan niat menjalankan kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan kepadanya terhadap keluarganya, maka perbuatannya ini akan diberikan pahala sebagaimana dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqq ash dari Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam bahwa beliau bersabda kepadanya :

وَإِنَّك لَنْ تَنْفَقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِيْ فِي امْرَأَتِكَ

“… dan tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang kamu harapkan dengannya wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala atasnya termasuk apa yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu”. (HR. Bukhari-Muslim)

  • Sebaliknya, setiap amalan yang zhohirnya adalah ibadah akan tetapi bila dilakukan dengan niat sekedar adat kebiasaan maka amalannya tidak akan mendapatkan pahala sama sekali sampai dia niatkan dengannya ibadah, walaupun amalannya dianggap syah.


Permasalahan Niat

Jika niat adalah keinginan dan kehendak hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan karena tempatnya adalah di hati karena seseorang berkeinginan atau berkehendak di dalam hatinya untuk melakukan sesuatu. Maka amalan yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang dilandasi dengan keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai pengharapan untuk mendapatkan wajah Allah.

Seperti firman Allah,

لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang (berniat) mencari wajah Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar Ruum: 38)
 
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap (berniat mendapatkan) wajah-Nya.” (QS. Al Kahfi: 28)

Atau dengan lafadz الابتغاء seperti firman Allah,

إِلا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلَى

“Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi.” (QS. Al Lail: 20)

لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisaa’: 114)

Makna Niat

Lafadz niat yang tercantum dalam firman Allah ‘azza wa jalla atau yang digunakan dalam syariat mengandung dua makna.

Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri dan yang kedua bermakna niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan). Maka niat itu ada dua jenis:

Jenis Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian semacam ini sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka “Syarat pertama dari ibadah ini adalah adanya niat” Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah niat dengan makna yang pertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri sehingga mampu dibedakan dengan ibadah yang lain.

Jenis yang kedua, adalah niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan) atau sering dinamakan dengan الإخلاص yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah ‘azza wa jalla.

Jadi kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini. Sehingga makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamإنما الأعمال بالنيات adalah sesungguhnya keabsahan suatu ibadah ditentukan oleh niat, yaitu niat yang berfungsi untuk membedakan ibadah yang satu dengan ibadah yang lain dan niat yang bermakna mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah. Sehingga tidak tepat pendapat yang mengatakan bahwa niat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah niat yang bermakna ikhlas saja atau pendapat yang mengatakan ikhlas tidak termasuk dalam perkataan ahli fikih ketika membahas permasalahan niat.

Sabda Nabi shallallahu ‘Alaihi wa sallam وإنما لكل امرئ ما نوى

Di dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam وإنما لكل امرئ ما نوى terkandung pembatasan, yakni setiap orang hanya akan mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan niat yang melandasi amalannya.

Jika niatnya ditujukan untuk Allah dan meraih kampung akhirat maka amalannya adalah amalan yang shalih, dan sebaliknya apabila niatnya hanyalah untuk meraih dunia maka amalan yang dia lakukan adalah amalan yang jelek lagi rusak. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).

Pembahasan ikhlas pun dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti sabda beliau dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya,

أنا أغنى الشركاء عن الشرك، من عمل عملًا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه

“Aku tidak butuh kepada sekutu. Barang siapa yang melakukan suatu amalan dan menyekutukan-Ku dalam amalan tersebut, aku tinggalkan dia bersama sekutunya.” (HR. Muslim nomor 5300).

Dalil ini menunjukkan wajibnya memurnikan amalan ibadah bagi Allah semata, sehingga amalan tersebut dapat diterima dan diberi pahala. Maka konsekuensi logisnya adalah seseorang yang mengerjakan suatu amalan dan tercampur niatan selain Allah dalam amal tersebut maka amalannya batal dan rusak.

Bagaimana hukumnya jika niatan untuk selain Allah itu terletak di awal ibadah, pertengahan, di akhir ibadah atau terjadi di suatu rukun namun tidak terjadi di rukun yang lain?

Permasalahan ini memiliki 3 kondisi sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’.

Pertama, seseorang yang memulai amalannya dengan niat riya’ atau sum’ah kepada makhluk. Maka amalannya batal dan dia adalah seorang musyrik kafir sebagaimana disebutkan dalam hadits,

من صلى يرائي فقد أشرك، ومن صام يرائي فقد أشرك، ومن تصدق يرائي فقد أشرك

“Barang siapa yang shalat, berpuasa dan bersedekah dengan tujuan riya’ maka dia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad nomor 16517)

Yang patut diperhatikan adalah riya’ dalam seluruh amalan seorang muslim tidak mungkin terjadi, namun riya’ hanyalah terjadi di sebagian amalan seorang muslim, terkadang di permulaan ibadah atau di pertengahan ibadah, tidak seluruhnya! Riya’ model itu hanyalah dilakukan oleh kaum kafir dan munafik sebagaimana firman Allah ketika menyifati orang-orang munafik,

يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا

“Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An NIsaa’: 142)

Dan firman-Nya ketika menyifati orang-orang kafir,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al Baqarah: 264)

Oleh karenanya apabila niat awal seseorang ketika melakukan shalat, berpuasa atau bersedekah adalah kepada selain Allah (seperti riya’ atau sum’ah) maka seluruh amalan tersebut rusak dan batal.

Kedua, niatan kepada selain Allah itu terjadi ketika sedang melaksanakan ibadah. Terdapat dua kondisi untuk permasalahan ini:

  • Kondisi pertama, orang tersebut membatalkan niatnya yang semula ikhlas dan digantikan dengan niatan kepada selain Allah, maka hukumnya seperti permasalahan pertama di atas, karena dia telah membatalkan niatnya yang semula ikhlas kemudian memperuntukkan ibadah tersebut kepada makhluk selain Allah.
  • Kondisi kedua, seseorang memulai ibadahnya dengan ikhlas kemudian memperindah ibadahnya seperti memperpanjang shalatnya karena orang lain melihatnya, atau memperpanjang rukuknya di luar kebiasaannya karena seseorang melihatnya. Maka hal ini tidak merusak pokok amalannya yang terletak di permulaan ibadah karena dia melakukannya dengan ikhlas, namun yang rusak adalah amalan yang tercampur dengan riya’ dan dia adalah seorang musyrik yang melakukan syirik ashghar (syirik kecil)-wal ‘iyadzu billah.
Ketiga, seseorang yang merasa senang dengan pujian orang lain setelah dia melakukan ibadah kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas seperti seseorang yang shalat, menghafal Al Quran, berpuasa ikhlas kepada Allah ta’ala kemudian orang lain memujinya dan dia merasa senang dengan hal tersebut. Dalam kondisi ini, hal tersebut tidaklah membatalkan pokok amalannya karena dia melakukan amalan tersebut dengan niat ikhlas kepada Allah dan niatnya tidak berubah ketika sedang melaksanakannya namun rasa senang tersebut muncul setelah dia selesai mengerjakan amalan tersebut. Hal ini adalah kabar gembira baginya sebagaimana disebutkan dalam hadits,

تلك عاجل بشرى المؤمن

“Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin, yaitu dia mendengar pujian manusia kepadanya karena ibadah yang dilakukannya padahal dia tidak menginginkannya.” (HR. Muslim nomor 4780; HR. Ahmad nomor 20416, 20432, 20503; HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman nomor 6745, 6746, 6747)

wallahua'lam bishshowab

*dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar