Jumat, 20 Mei 2011

Hadis Arbain ke enam: Halal dan Haram

Dalam kesepatan pengajian kemaren malam, Bayu telah membacakan dari Bulughul Mahram bab tentang halal-haram makanan.

Kebanyakan hadis yang dibacakan sangat jelas (tanpa perlu penjelasan lebih lanjut). Pengajian makin menarik kala para peserta mencoba menarik hadis dalam konteks permasalahan yang mereka hadapi. Misalnya, ada hadis yang menyebutkan tentang larangan memakan burung yang memiliki cakar yang tajam; hadis ini langsung disambut pertanyaan, "Tajamnya yang seperti apa?".

Buat orang awam seperti kita ini, kita memerlukan pedoman bagaimana bersikap terhadap hal-hal yang belum kita ketahui secara jelas halal-haramnya. Nah ternyata, panduan tersebut dapat terlihat dalam hadis arbain ke enam tentang halal dan haram.

Dalam hadis ini dijelaskan kalau yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan diantara keduanya ada perkara yang dinamakan syubhat (meragukan). Lagi-lagi untuk orang awam seperti kita ini, bahkan untuk perkara halal dan haram yang sudah jelas pun kita banyak tidak mengetahui dasar hadisnya.

Yang kita ketahui kebanyakan adalah "pemahaman"  yang sudah beredar dimasyarakat, seperti halnya pemahaman "Haram memakan hewan yang hidup di dua air".....saya belum melakukan googling lebih jauh, tapi saya dapati tidak ada nash Quran ataupun hadis yang menyebutkan hal ini (bagi yang telah mengetahui nash Quran atau hadisnya boleh dishare sehingga bisa dijadikan referensi). Apakah artinya kita boleh memakan katak...wallahua'lam, saya belum memiliki pengetahuan yang jelas tentang itu.

Bagi saya, selama saya belum meiliki pengetahuan yang jelas tentang hal tersebut....maka menghindari hal tersebut adalah lebih utama selama masih ada alternatif yang sudah jelas kehalalannya.

Sekali lagi wallahu'alam....

Untuk pembahasan hadis yang lebih lengkap, silahkan baca kutipan penuh berikut yang di ambil dari http: //ulamasunnah.wordpress.com

 

 

Penjelasan Hadits Arbain Imam An Nawawi Keenam: Halam dan Haram


عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
[رواه البخاري ومسلم]

Dari Abi Abdillah An Nu’man bin Basyir rhadiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya perkara yang halal telah jelas, dan perkara yang haram pun telah jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang meragukan, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang syubhat, maka ia telah menjaga keselamatan agamanya dan kehormatannya. 

Dan barangsiapa yang terjatuh dalam syubhat, berarti ia telah terjerumus dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat daerah terlarang sehingga hewan-hewan itu nyaris merumput di dalamnya.

Ketahuilah, bahwa setiap raja memilliki daerah terlarang. Ketahuilah, bahwa daerah terlarang Allah adalah hal-hal yang diharamkan. 

Ketahuilah, bahwa dalam tubuh terdapat mudghah (segumpal daging), jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati. [1] (HR. Bukhari dan Muslim)

Penjelasan:
Nabi telah membagi perkara ini menjadi tiga:
•Perkara yang jelas kehalalannya, yang tidak ada keraguan padanya.
•Perkara yang jelas keharamannya, yang tidak ada keraguan padanya.

Kedua perkara ini jelas. Adapun perkara yang halal, hukumnya adalah halal. Seseorang tidak berdosa untuk melakukannya. Dan perkara yang haram, hukumnya pun haram, seseorang berdosa jika melakukannya. Contoh yang pertama: halalnya hewan ternak. Contoh yang kedua: haramnya khamr (minuman keras).

•Adapun yang ketiga adalah perkara yang syubhat (meragukan) dari segi hukumnya; apakah itu hukumnya halal ataukah haram? Hukum hal itu samar bagi kebanyakan manusia. Hanya saja hal itu telah diketahui oleh yang lainnya. Inilah yang disinyalir oleh Rasulullah, bahwa sikap yang hati-hati adalah meninggalkan perkara tersebut, dan agar orang-orang tidak terjerumus ke dalamnya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maka barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang syubhat berarti ia telah menjaga keselamatan agama dan kehormatan dirinya” [2] dengan Allah dan menjaga kehormatannya dalam perkara yang berkaitan antara dirinya dengan orang lain, sehingga mereka tidak mengatakan, “Si fulan telah terjatuh dalam perkara yang haram, di mana orang-orang itu mengetahuinya, sedangkan orang yang bersangkutan beranggapan bahwa hal itu adalah perkara yang samar, kemudian Nabi memberikan perumpamaan akan hal tersebut dengan seorang penggembala yang menggembala hewan ternaknya di daerah terlarang, yaitu di sekitar tanah lindung yang tidak digunakan sebagai tempat untuk menggembala hewan-hewan ternak, sehingga tempat tadi menjadi tempat yang hijau karena kawasan itu tidak digunakan sebagai tempat menggembala, maka tempat itu menarik hewan ternak untuk berjalan ke sana dan merumput di dalamnya (seperti seorang penggembala yang menggembala ternaknya di sekitar tanah lindung, sehingga hewan-hewan itu nyaris merumput di sana).” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki tanah larangan”, yakni sudah menjadi kebiasaan bahwa para melindungi lahan-lahannya yang di dalamnya terdapat tanaman dan pepohonan yang banyak.
“Ketahuilah bahwa tanah larangan Allah itu adalah keharaman-keharaman-Nya”, yaitu apa yang telah diharamkan-Nya untuk para hamba-Nya itulah yang menjadi larangan-Nya, karena Dia telah mencegah mereka dari keterjerumusan ke dalamnya. Kemudian beliau menerangkan bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik maka seluruh jasadnya akan menjadi baik, kemudian beliau menerangkan dengan sabdanya, “Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati / qalbu.” Ini sebagai isyarat bahwa wajib bagi setiap orang untuk memperhatikan apa yang ada di dalam hatinya, daripada hawa nafsu senantiasa menghembuskan was-wasnya, hingga menjerumuskan ke dalam perkara yang diharamkan dan syubhat.

Faedah yang dapat diambil dari hadits ini:
1. Bahwa syari’at Islam perkara yang halalnya jelas dan perkara yang haramnya pun jelas, sedangkan hal-hal yang syubhat darinya hanyalah diketahui oleh sebagian orang saja.
2. Seyogyanya bagi setiap orang, jika tersamarkan baginya suatu perkara apakah itu halal atau haram, maka ia berusaha menjauhinya sampai nampak jelas kehalalannya baginya.
3. Bahwa seseorang jika terjerumus ke dalam perkara yang syubhat, maka mudah baginya untuk terjerumus ke dalam perkara-perkara yang jelas (keharamannya . pent), jika ia senantiasa melakukan perkara yang syubhat / tidak jelas / samar, sesungguhnya jiwanya akan mengajaknya untuk melakukan sesuatu yang lebih jelas (keharamannya . pent) maka pada saat itulah ia akan binasa.
4. Bolehnya memberikan permisalan dalam rangka menjelaskan perkara yang bersifat maknawi, dicontohkan dengan perumpamaan yang bersifat fisik, yakni untuk menyerupakan hal yang bisa dicerna oleh akal dengan yang bisa diraba tujuannya untuk mendekatkan pemahaman.
5. Baiknya metode pengajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan memberikan permisalan dan menjelaskannya.
6. Tolak ukur kebaikan dan kerusakan itu ada pada hati berdasarkan faedah ini, bahwasanya wajib bagi setiap orang untuk memberikan perhatian yang khusus terhadap hatinya hingga menjadi hati yang lurus sebagaimana mestinya. [3].
7. Bahwa rusaknya amaliyah lahiriyah sebagai bukti nyata akan rusaknya batin sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika ia baik maka seluruh jasadnya akan menjadi baik, dan jika ia rusak maka seluruh jasadnya akan menjadi rusak.” Maka rusaknya amaliyah lahiriyah sebagai tanda rusaknya amaliyah bathin /hati. [4]

Catatan kaki:
[1] Shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam (Al Iman/52/Fath). Dan Muslim (Al Masaqat/1599/Abdul Baqi).
[2] Yang dimaksud menjaga agamanya ialah menjaga hubungannya dengan Allah subhanahu wata’ala, sedangkan menjaga kehormatan adalah antara diri dengan manusia.
[3] Saya mengatakan (pentakhrij): bahwa perkaranya seperti yang dikatakan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Hati adalah raja dan anggota badan adalah tentaranya.” Syaikhul Islam berkata, “Hati itu berbeda dengan raja-raja di dunia. Sesungguhnya anggota badan tidak akan menyelisihi sedikitpun dari kehendak hatinya.” Dinukil dengan ringkas.
[4] Saya mengatakan (pentakhrij): perhatikan firman Allah surat Ibrahim ayat 24-26. sungguh Allah telah memulai dengan bathin sebelum lahiriyah, dan dijelaskan bahwa apabila bathinnya baik, maka lahiriyahnya akan baik. Dan jika bathinnya rusak, maka lahiriyahnya akan rusak.
(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan. Silakan dicopy dengan mencantumkan URL http: //ulamasunnah.wordpress.com)

2 komentar:

  1. Haramnya Katak

    Adapun dalil haramnya memakan katak adalah hadits,

    أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ قَتْلِهَا.

    “Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.” (HR. Abu Daud no. 5269 dan Ahmad 3/453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

    Al Khottobi rahimahullah mengatakan, “Dalil ini menunjukkan bahwa katak itu diharamkan untuk dimakan. Katak termasuk hewan yang tidak masuk dalam hewan air yang dihalalkan.”[2]

    Kemudian Pendapat Ulama Besar Mengenai Buaya, Kura-kura, Kepiting dan Landak Laut

    Pertama: Fatwa Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia)

    Pertanyaan: Apakah dibolehkan memakan kura-kura, kuda laut, buaya, landak laut? Ataukah hewan-hewan tersebut haram dimakan?

    Jawaban:

    Landak laut halal untuk dimakan. Hal ini berdasarkan keumuman ayat,

    قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

    “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am: 145).

    Hukum asal segala sesuatu adalah halal sampai ada dalil yang menyatakannya haram.

    Adapun hewan kura-kura, sebagian ulama menyatakan boleh dimakan meskipun tidak disembelih. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

    أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ

    “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut.” (QS. Al Maidah: 96).

    Begitu pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang air laut,

    هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

    “Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR. At Tirmidzi no. 69, An Nasai no. 332, Abu Daud no. 83, Ibnu Majah no. 386, Ahmad 2/361, Malik 43, Ad Darimi 729)

    Akan tetapi untuk kehati-hatian, kura-kura tersebut tetap disembelih agar keluar dari perselisihan para ulama.

    Adapun buaya, sebagian ulama menyatakan boleh dimakan sebagaimana ikan karena keumuman ayat dan hadits yang telah disebutkan. Sebagian lainnya mengatakan tidak halal. Namun yang rojih (pendapat terkuat) adalah pendapat pertama (yang menghalalkan buaya).

    Adapun kuda laut, ia juga halal dimakan berdasarkan keumuman ayat dan hadits yang telah lewat, juga dihalalkan karena tidak adanya dalil penentang. Kuda yang hidup daratan itu halal dengan nash (dalil tegas), sehingga kuda laut pun lebih pantas dinyatakan halal.

    Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.

    [Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota] [6]

    Sumber http://rumaysho.com

    BalasHapus
  2. terimakasih sudah melengkapi Pak Aslam....soal katak memang hadisnya sudah disebutkan oleh Bayu saat pengajian kemarin...

    Kalau mengenai dalil hewan yang hidup di dua air haram dimakan, apakah Pak Aslam ada referensinya juga? saya coba cari digoogle nggak ketemu-ketemu nih

    BalasHapus